Rabu, 30 Juli 2014

The Way

Menonton film ini Kawan, sungguh menghangatkan kalbu. Khususnya saya yang seorang penggila drama romantis keluarga. Saya merasa dipeluk kehangatan cerita tentang bapak dan anak yang diperankan oleh Charlie Sheen dan seorang aktor dengan nama Estevez di belakangnya. Maaf saya gagal mengingat namanya.

2 hari lalu saat Idul Fitri, saya beruntung masih bisa memeluk bapak saya. Pun saya belum bisa membayangkan bagaimana hari Idul Fitri di tahun-tahun mendatang, jika bapak ini tak ada lagi untuk saya peluk.
Begitulah kisah bermula, Thomas Avery (60), seorang dokter spesialis mata menjalani rutinitasnya. Ia adalah ayahanda dari Daniel Avery(40), putra yang pembangkang.
Daniel adalah putra tunggal Thomas yang punya hobi jalan-jalan mengunjungi banyak negara di dunia. Backpacker? Bisa disebut begitu.

Demi hobinya itu, Daniel bahkan berani melepas sekolah doktornya dan mengecewakan sang ayah. Rasanya ini adalah sejuta kalinya Thomas dibuat marah oleh ulah anaknya. Thomas yang kaku ini, tak bisa memaksa lagi. Hidupnya teratur meski si anak entah bepergian kemana.

Suatu hari dalam kesehariannya, berita buruk itu tiba. Daniel dikabarkan meninggal diterpa badai ketika sedang melakukan perjalanan sebagai peziarah di tanah Santo, Spanyol.
Thomas langsung berangkat ke Spanyol dan menyatakan cuti sejenak dari prakteknya sebagai dokter.
Menemui sisa-sisa kehidupan seorang darah daging hanya dalam sebuah backpack, lengkap dengan segala peralatannya. Saya tak terbayang bagaimana perihnya melepas putra kesayangan, tanpa sempat melihat dan memeluk untuk yang terakhir di dunia.
Thomas menghabiskan waktu untuk berfikir panjang dan akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan Daniel berziarah ke Gereja St. James sambil membawa abu kremasi Daniel. Bila memang itu adalah hal terakhir yang bisa ia lakukan sebagai ayah, maka dimulailah perjalanan Thomas meniti jalur ziarah ini.

Segala cobaan datang. Tas ranselnya hanyut, tidur di barak dengan orang-orang asing, dan bahkan ditahan polisi karena mabuk dan mengganggu ketenangan.
Di perjalanan ini pula, ia bertemu 3 persona lain yang melakukan ziarah dengan beragam tujuan. Jost Si Belanda yang berniat kurus, Sarah Si Kanada yang nazar ingin berhenti candu, dan Jack Si Irish, si penulis yang akhirnya membukukan kisah Thomas dan Daniel.

Alam yang begitu indah mempesona, jalan-jalan berbatu yang bersih dan rapi, rumah-rumah tua tradisional yang menggoda, menjadi daya tarik tanah Eropa di film ini. Kebebasan, hidup, syurga, kata-kata yang tak cukup menutupi keinginan hati untuk berkunjung ke sana satu saat nanti.

Sepanjang perjalanan, abu Daniel ditaburkan di titik-titik tertentu. Di tempat-tempat tertentu juga, bayangan Daniel menyapa Thomas. Di sini, air mata tak terbendung lagi.
Garis akhir, garis pantai. Abu Daniel dilarung, menuju kebebasan tanpa batas.
Hiduplah, hiduplah abadi.

"Anak-anak kita adalah yang terbaik dan terburuk dari diri kita."

Kamis, 05 Juli 2012

Sumpe' loh, ini namanya zine?! #4

Edisi 4 ini lahir sudah dengan desain dan lay out menggunakan corel-draw. Bukan, bukan aku yang ngerjain. Tapi pacar baru. Hehe..
Punya pacar baru memang banyak memberikan efek pada proses membuat zine ini. Banyak influens musik, materi bacaan untuk referensi, juga pandangan hidup yang sedikit banyak ikut merubahku menjadi Gita yang baru.
Tapi khusus desain cover, aku pilih konsepku sendiri.



Sedikit refleksi dari Sumpe' Loh Ini Namanya Zine?! #4

Hidupku yang kacau atau aku yang gagal mengendalikan hidup?

Setelah orangtuaku pisah, aku memulai hidup baruku. Dengan harapan baru dan nafas hidup yang baru. Kata orang, tahun baru adalah awal kita memulai lembaran hidup yang baru. Tapi, sepertinya kata-kata itu tidak berlaku untukku.

Aku terpaksa menghentikan kuliahku karena menolak dibiayai bapak. Aku berusaha keras mencari kerja agar dapat membiayai hidupku sendiri. Juga untuk membantu ibu yang praktis setelah pisah dengan bapak, tidak memiliki pemasukan apapun. Berbulan-bulan aku terlunta-lunta. Dari rumah saudaraku yang satu sampai ke rumah singgah lainnya. Sampai pada akhirnya seorang kerabat jauh menawariku sebuah posisi freelance di redaktural sebuah majalah anak-anak. Langsung saja aku terima tawaran itu.

Walaupun tak punya bekal cukup, aku nekat memberanikan diri untuk menulis. Jelek-jelek begini, aku sudah menulis cerpen sejak SMP dan pernah menang lomba menulis kisah cinta di sebuah lomba.

Beberapa cerpen kutawarkan ke pemred agar bisa dimuat. Aku juga menulis beberapa artikel untuk edisi perdana majalah tersebut. Tak kusangka ternyata diterima. Yah..walaupun naskahku tidak seluruhnya orisinal alias direvisi kembali oleh sang editor. Dan artikelku diubah, semi total. Tapi aku nggak mau menyerah secepat itu. Memang sempat beberapa kali aku kecewa dan bahkan menangis. Tapi aku terus mencoba. Sampai edisi ke-4 saat ini. Ada rasa puas luar biasa dalam diriku.

Mungkin itulah yang bisa kubanggakan. Sebenarnya dari setiap tahapab hidupku, aku selalu merasa gagal. Hampir setiap saat aku merasa tidak mampu. Sebelum memulai pekerjaan saja aku sudah ketakutan setengah mati. Kalah sebelum berperang. Hingga kadang aku harus menunggu dimarahi dulu agar.otakku panas. Isilahnya, aku harus dipancing dulu. Nah, itu dia yang kusesalkan sampai saat ini. Kenapa ya, aku sulit sekali memotivasi diri.

Kegagalan itu datang silih berganti. Menjadi masalah yang datang seakan tanpa henti. Aku memang boleh bangga karena di usia semuda ini dan dalam keadaan yang tidak sebaik orang lain, aku sudah bisa menghidupi diriku sendiri. Tapi apa imbasnya? Aku hilang kendali.

Seharusnya aku bisa membantu ibu lebih banyak atau juga menyimpan uangku agar bisa kupakai di lain waktu bila kuperlu. Tapi aku nggak begitu. Baru saja gempokan uang itu kuterima, besoknya aku sudah sibuk cari hutangan untuk makan. Nah lo! Padahal aku juga tidak menghabiskan uang-uang itu untuk membeli sesuatu yang berarti. Lihat saja, hidupku tidak jauh lebih baik.

Seseorang bilang, ini memang sudah uratku. Dulu aku tidak pernah punya uang banyak, maka sekarang, hal itupun terjadi lg. Seakan aku memang ditakdirkan untuk selalu miskin dan tidak boleh punya uang. Benarkah begitu?

Sekarang aku kebingungan. Ibu meminta bantuanku untuk memulai usaha. Dia butuh modal yang tidak sedikit. Lalu aku bisa apa? Ternyata aku NOL! Aku gagal membantunya. Aku tidak bisa diandalkan. Padahal aku ingin sekali membuatnya bangga. Karena, siapa lagi yang bisa membuatnya bahagia selain aku, putri tunggalnya.

Ah..aku nggak mau begini terus. Aku harus pegang kembali kendali penuh atas hidupku. Memangnya siapa lagi yang bisa menolongku kalau bikin aku. Ibu yang sangat kusayangipun tidak akan sudi kalau hidupku terus-terusan kacau begini.

Baiklah kalau begitu. Aku akan berubah. Mungkin perlahan, tapi aku harus. Meskipun aku belum bisa apa-apa, maka aku harus bisa satu saat nanti. Masih banyak orang yang jauh lebih susah. Dan anehnya di luar sana banyak sekali orang yang lebih menyedihkan. Kenapa? Ya, karena mereka lebih menyia-nyiakan kesempatan waktu, uang, dan hidup mereka hanya untuk kesenangan semu.

Bukankah mereka seharusnya lebih bersyukur daripada aku? Bukankah mereka sebaiknya lebih menghargai hidup mereka yang sekejap saja bisa jatuh menyedihkan? Ah, kasihan sekali mereka. Ah, lebih kasihan lagi aku yang mengasihani mereka.



Rabu, 04 Juli 2012

Darling, kiss me goodbye...

"Cium...
Cium aku!"

Itu yang dia katakan setelah lama dia menyimak kata-kata putus dariku, dengan terus menatapku dalam-dalam.

Aku tidak mampu berbuat apa-apa. Tidak lagi seperti dulu. Tidak lagi berhasrat menyatukan bibirku dengan miliknya, menyatukan hasrat kami. Tidak lagi memainkan lidahku dan menggigiti bibirnya saat lekat sekali kami berciuman. Aku hanya diam, membeku.
Bahkan matakupun tak lagi menangkap keindahan di lingkar bola matanya.

Dia mendekatkan bibirnya, menciumku. Mengecupinya dengan hangat, lalu melepasnya dengan dingin sekali.

Sempat kurasa gemetar putus asa di dalam manis hasratnya. Tapi tak ada yang dapat kulakukan. Tak kubalas apapun darinya.

Dia menciumi bibirku lagi, untuk yang terakhir. Lama sekali!
Aku tak bergerak. Lama sekali!

Lalu dia mengangkat wajahku. Dikecupnya kening, pipi, hidung, lalu kedua mataku. Seperti dulu.
Seperti dulu saat aku mengantarnya pulang di pintu senja.

Tapi, kali ini aku menangis. Aku menangis karena ini adalah untuk yang terakhir kalinya.
Dan tidak akan ada lagi nanti.
Tidak akan terulang lagi. Tidak akan ada cium-cium lagi!

Kami berpisah. Kami beda arah.
Kisah ini tidak akan berlanjut. Hutang-hutang janji itu tidak perlu lagi dilunasi. Karena kami sudah selesai!
Panggungnya sudah tertutup tirai, dan dramanya sudah cukup sekian.

Tapi...
Lukanya belum hilang. Sakitnya belum sembuh. Mungkin nanti. Akan ada obat penawarnya.
Untuknya.
Kuharap ia akan menemukan obatnya.
Sepertiku saat ini...
menciumi obatku.

(dan dengan tulisan ini, di edisi ke-3 ini aku officially punya pacar baru :D)



Sumpe' loh ini namanya zine?! #3

Selanjutnya, edisi ke-3 terbit. Masih tetap dengan gunting tempel gambar-gambar yang aku colong seenaknya dari mana-mana.
Edisi ini terbit tahun 2005 saat hidupku terguncang. Banyak hal. Keluarga hancur, kuliah gugur di tengah jalan. Tp sekaligus hobi menulis (zine salah satunya) membawaku pada karier menulisku hingga beberapa waktu ke muka.
Ternyata memang benar pepatah yang bilang, kalau mau pasti ada jalan.

Inilah titik balik hidupku saat itu. Sampai akhirnya bisa ada di sini hari ini :) Enjoy!

-kucuri hakku-

tak kunjung kutempuh aral ini
langkahku mengendap-endap
kuharap tiada bisik 'kan menoda
saat ini,
saat kucuri hakku!

caci maki telah melekat di kulitku
pula benjut merah pada rupaku
pada titik ini aku teraniaya...
walau aku menang,
aku merasa merdeka!

dan tanganku kian menggapai
mencari temuan pasti hidupku
dalam kedinian masaku,

kucuri hakku!